AI: Kecerdasan Buatan atau Kecerdasan Tipuan?

Apakah kecerdasan AI beneran bisa bersaing dengan kecerdasan manusia?

Faizal Rizky By Faizal Rizky 13 Min Read

Saya ingat menjelang akhir tahun 2022 ketika komunitas internet sedang riuh rendah mengenai rilisnya kecerdasan buatan (AI) dengan nama ChatGPT, produk teknologi yang bisa meraih 100 juta pengguna dalam 2 bulan. Saya sendiri mencobanya 5 hari setelah rilis, dan seperti banyak orang lainnya pada saat itu, saya sangat terkagum dibuatnya. 

Saya sempat memiliki prediksi bahwa tidak lama lagi akan ada banyak profesi yang akan tergantikan oleh kecerdasan buatan ini, termasuk programmer dan penulis artikel. Setelah beberapa bulan berselang, saya tidak lagi begitu yakin dengan impresi awal tersebut. 

Saat ini, saya memandang AI seperti seekor anjing yang nampak sangat galak karena bisa menggonggong dengan keras. Tetapi apakah anjing tersebut benar-benar bisa menggigit?

Artikel ini ditulis bersamaan dengan OpenAI merilis model o1. Opini yang dikeluarkan penulis hanya terbatas sampai ChatGPT 4.

 

- Advertisement -

Kesan Pertama Begitu Menggoda

Pada bulan November 2022, saya sedang dalam kesulitan menyelesaikan sebuah studi tentang kekerasan antar pelajar di lingkungan sekolah. Saya sudah mengerjakannya selama 4 hari dan masih belum juga mendapatkan referensi yang substansial.

Lalu, saya teringat tentang perusahaan OpenAI yang baru saja merilis produknya beberapa hari sebelumnya. Kurang dari sejam kemudian, saya telah mendapatkan cukup banyak topik untuk menulis paper sebanyak 8 halaman.

Tidak hanya sampai di situ, saya kemudian melihat banyak sekali testimoni kepuasan di YouTube. Mulai dari penulis buku, guru, peneliti, mahasiswa, hingga programmer.

Ya. ChatGPT, bahkan dengan rilisan awalnya sekalipun, sudah bisa mengoreksi dan memproduksi kode yang akurat dan fungsional. Tidakkah itu mengesankan?

Sebelumnya saya perlu klarifikasi bahwa saya bukan seorang programmer. Saya pernah mengambil dua kelas pemrograman dasar yang membuat saya bisa menampilkan teks dalam HTML. Tapi, saya juga berteman dengan beberapa orang programmer andal yang mengaku sangat terbantu dengan ChatGPT.

- Advertisement -

Dari kesan pertama tersebut, saya merasa bahwa ada banyak sekali potensi kreatif dan ekonomis yang dapat digali menggunakan kecerdasan buatan. Dan saya tidak sendirian. Dalam beberapa bulan berikutnya, internet mulai dibanjiri oleh artikel, buku, dan penelitian yang banyak di antaranya dibantu (dan bahkan ada yang sepenuhnya ditulis) oleh ChatGPT.

Di saat itulah, saya dan banyak pemerhati lainnya mulai menyadari satu masalah utama dari kecerdasan buatan: luaran yang dihasilkan oleh AI sebenarnya tidak logis.

 

Baca juga: Potensi Kecerdasan Buatan (AI) di Berbagai Bidang Kehidupan

 

Kenyataan yang Bersembunyi di Balik Retorika

Kesan apa yang muncul di benakmu ketika mendengar istilah seperti “rumput buatan”, “organ buatan”, atau “pemanis buatan”? Apakah kamu menganggapnya sebagai hal yang berkualitas tinggi atau rendah?

- Advertisement -

Biasanya, produk sintetis atau buatan adalah hasil rekayasa manusia untuk menyerupai bentuk dan fungsi dari sesuatu yang organik atau alamiah. Tujuan dari rekayasa itu, biasanya, adalah untuk menghemat biaya pada produksi massal.

Sayangnya, penggunaan barang sintetis pasti akan menghasilkan pengalaman yang inferior dibandingkan barang aslinya. Untuk orang yang butuh kualitas apa adanya, mungkin tidak akan jadi masalah. 

Yang akan jadi masalah adalah ketika orang awam justru menyamakan produk sintetis dan organik. Seorang chef profesional pasti tahu kekurangan dan risiko pewarna buatan untuk masakan, tetapi juru masak yang belum berpengalaman mungkin tidak paham.

AI "tidak" bisa menggantikan programmer. Sumber: Reddit r/developersIndia.
AI “tidak” bisa menggantikan programmer. Sumber: Reddit r/developersIndia.

Begitu pula dengan penggunaan kecerdasan buatan dalam programming, kamu akan mendapati banyak kendala seperti ini: 

  • Tidak paham dengan konteks yang mendalam: AI generatif seperti ChatGPT memang bisa mengganti beberapa variabel sesuai perintah, tetapi mereka tidak bisa menghasilkan kode untuk kebutuhan yang spesifik, apalagi kalau kamu mengerjakan proyek dengan nuansa dan konteks yang inovatif. Hasilnya, kode yang dihasilkan bisa bersifat sangat generik dan tidak aplikatif untuk keperluan-keperluan tertentu.
  • Kesalahan dalam logika dan alur kode: AI sering menghasilkan kode yang tampak fungsional, namun logika yang kompleks kadang tidak berjalan sesuai harapan. Hal ini terutama terjadi pada program yang melibatkan logika bercabang atau kondisi yang rumit, di mana AI cenderung tidak sempurna dalam mengelola variabel dan keadaan program.
  • Tidak punya dasar pengambilan keputusan: Dalam skenario pemrograman yang melibatkan trade-off antara kinerja dan efisiensi, seorang programmer sering membuat keputusan berdasarkan pengalaman pribadi mereka dengan teknologi tertentu. Sebaliknya, AI hanya mengandalkan data yang telah dilatih, dan mungkin tidak dapat memutuskan apakah lebih baik menggunakan pendekatan rekursif atau iteratif.
  • Ketergantungan pada data latihan: AI sangat bergantung pada set data yang dijadikan bahan latihan, dan ini bisa menjadi masalah ketika dataset tersebut tidak mencakup teknologi baru atau framework pemrograman terkini. Belum lagi kalau data set tersebut tidak menyertakan kasus yang umum terjadi akibat faktor kesalahan pengguna.
  • Kendala etika dan keamanan: AI tidak mampu mengevaluasi risiko keamanan dari kode yang ditulisnya, berbeda dari seorang programmer yang akan memberikan pertimbangan kritis untuk mencegah adanya serangan keamanan.

Di permukaan, AI bisa memberikan jawaban yang akan memuaskan orang-orang yang butuh solusi instan. Tapi, bukannya kita semua sudah tahu bahwa semua hal yang instan pasti bukanlah hal yang bagus?

Mungkin, kita sebagai konsumen sudah harus bisa memproteksi diri dari para “inovator” yang gemar menjual iming-iming bermodal retorika. Saya sendiri sudah mulai skeptis dengan kata “buatan” dan “sintetis” dan lebih menganggapnya sebagai “tipuan” atau “bohongan.”

Jadi, AI itu lebih pantas dianggap sebagai “kecerdasan tipuan” daripada “kecerdasan buatan.”

 

Manusia vs. Teknologi

Terminator 2 Judgement Day - The New & Improved T-800 Endoskeleton Puppets | Stan Winston School of Character Arts
Model robot dari film Terminator. Sumber: Stan Winston School.

 

Sudah sejak lama, kita sudah terobsesi dengan konsep “si ciptaan akan menghancurkan sang penciptanya.” Entah di dalam dongeng, mitologi kuno, kitab suci, karya sastra, sampai film Hollywood, selalu ada cerita di mana manusia melawan penciptanya atau justru manusia yang dimusnahkan oleh hasil ciptaannya.

Salah satu yang paling populer adalah film Terminator yang menceritakan kecerdasan buatan bernama Skynet yang berhasil mengambil alih teknologi persenjataan tempur untuk menghilangkan manusia dari muka bumi. Setelah 6 film dan satu serial TV, kesimpulannya masih sama: manusia tidak punya kesempatan jika harus bertarung melawan mesin.

40 tahun lalu, ketika film pertamanya dirilis, semua orang sepakat bahwa Terminator adalah fiksi ilmiah. Tetapi apakah kisah tersebut akan terus menjadi fiksi, atau ada sesuatu yang perlu kita lakukan untuk mencegahnya menjadi sebuah prediksi?

Di satu sisi, kita melihat AI diobral kiri dan kanan sampai masuk ke segala bidang kehidupan, mulai dari kesehatan, pendidikan, sampai produksi makanan. Kalau mereka berani mengintegrasikan AI ke mana-mana, pastinya mereka yakin kalau barang itu aman. Iya, kan?

Di sisi lain, kita melihat tokoh-tokoh cerdas seperti Elon Musk dan mendiang Stephen Hawking bersuara lantang mengenai bahaya AI yang akan menggantikan peran-peran penting manusia. Kalau mereka saja khawatir, tidakkah kita harusnya panik dan mulai menghapus semua aplikasi berbasis AI yang ada di ponsel kita?

Memang betul bahwa kualitas AI yang kita lihat sekarang sama sekali tidak berbahaya, tetapi ini adalah versi yang dirilis untuk publik. Kita tidak tahu apa yang sedang mereka persiapkan di dalam laboratorium mereka di Silicon Valley sana.

 

Manusia + Teknologi

Elon Musk and the danger of AI. Elon Musk, the CEO of SpaceX and Tesla… | by VALUE DRIVEN MEDIA | Medium
Peringatan Elon Musk tentang bahaya AI. Sumber: Medium.

 

Saya sendiri awalnya merasa senang dengan terobosan AI, lalu saya berubah menjadi skeptis dengan kualitasnya, lalu berubah menjadi khawatir setelah melihat peringatan dari Elon.

Belakangan, saya melihat berita bahwa Elon adalah salah satu co-founder dari OpenAI, induk perusahaan ChatGPT. Bukan cuma itu, dia juga adalah salah satu investor awal dari DeepMind, kecerdasan buatan yang berhasil mengalahkan juara dunia Go. What?

Sebenarnya di mana posisi Elon dalam perkembangan AI? Kalau dia setuju, mengapa dia sampai berkoar-koar mengenai bahaya AI? Kalau tidak setuju, mengapa dia justru menjadi investor?

Saya bahkan melihat sebuah untaian di Quora yang berkata bahwa Elon tidak mau AI menjadi hebat karena takut kepintaran dan kekayaannya tergeser. Untungnya, ada jawaban yang lebih logis daripada itu.

Elon menganggap bahwa AI adalah teknologi yang tidak terbendung, jadi tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mencegah teknologi tersebut untuk rilis dan berkembang. Dia memutuskan untuk berinvestasi untuk memiliki andil dalam pengembangan AI ke depannya.

Sebelum mendirikan OpenAI bersama Sam Altman, mereka berdiskusi tentang opsi paling aman: menjadikan AI sebagai teknologi eksklusif yang hanya dapat diraih oleh beberapa perusahaan besar saja, atau justru menjadikannya teknologi yang terbuka luas untuk digunakan oleh banyak orang secara independen.

Mereka menyimpulkan bahwa opsi kedua adalah yang paling aman. Jadi, kalau kamu sekarang merasa jengkel dengan banyaknya aplikasi yang menggunakan AI, seharusnya kamu merasa lega. Karena alternatif dari itu adalah menghadapi perusahaan-perusahaan besar yang bisa menjadikan AI sebagai produk oligarki.

Tujuan dari Elon adalah menjadikan AI sebagai produk yang tidak bisa dikuasai secara terpusat, di mana semua orang punya akses untuk membangun sistem dan ekosistemnya sendiri. Sama halnya dengan sistem operasi Linux yang dianggap lebih aman dibandingkan Windows dan MacOS, karena dapat diawasi dan dimodifikasi melalui sistem open source.

Peringatan keras yang diberikan Elon perlu kita cermati dengan baik. Dia tidak meminta kita untuk anti dengan AI, mengingat dia sendiri menggunakan teknologi tersebut di setiap produk yang dia kembangkan. Dia mau kita bersikap cerdas, kritis, dan proaktif dalam penggunaannya.

Ujung-ujungnya, AI adalah teknologi yang seharusnya berfungsi untuk mempermudah pekerjaan manusia. Tidak beda dengan teknologi lain seperti komputer, internet, ponsel, dan mobil, manusia harusnya memegang kendali ketimbang menjadi korban dari perkembangan teknologi.

 

Baca juga: iPhone 16 : Revolusi Teknologi dengan Fitur AI Canggih dari Apple

 

AI adalah Bagian dari Evolusi Manusia

Kembali ke pertanyaan dasar: apakah AI akan menggantikan pekerjaan manusia? Jawaban singkatnya, ya. Ada banyak sekali profesi yang akan hilang gara-gara perkembangan AI.

Apakah itu hal yang buruk? Haruskah kita menghentikan progres AI sebelum terlambat? Menurut saya tidak. Perubahan memang bukan hal yang mudah, terutama kalau perubahan tersebut mengancam mata pencaharian kita.

Sebentar lagi, admin dan resepsionis akan digantikan oleh chatbot, sama seperti penjaga gerbang tol dan parkiran yang telah digantikan oleh mesin scanner, atau pengantar surat yang sudah digantikan oleh email. Itu cuma satu dari ribuan contoh pekerjaan yang akan, sedang, dan telah berganti berkat perkembangan teknologi.

Intinya, teknologi akan terus berkembang dan akan menggantikan peran-peran manusia yang tidak efektif. Kita bisa menangis dan mengutuk teknologi sebagai entitas jahat atau kita bisa melihat teknologi sebagai salah satu proses seleksi alam: siapa yang tidak mau beradaptasi dengan perubahan, pastinya akan tersisihkan.

Saya pribadi tidak masalah bahkan jika pekerjaan saya tergantikan oleh AI (saat ini saja sudah ada jutaan “penulis” yang hanya bermodal ChatGPT). Kalau AI memang mampu untuk mengerjakan pekerjaan tersebut dengan lebih baik, maka sebaiknya AI saja lah yang mengerjakannya.

Yang jadi masalah untuk saya, bagaimana kalau seorang direktur atau kepala pemerintahan memaksakan agar sebuah pekerjaan ditangani oleh AI meskipun teknologi tersebut tidak mampu? Apa jadinya negara kita kalau seorang pengambil keputusan yang tidak peduli dengan kualitas (biasanya untuk kepentingan anggaran) memberikan kendali kepada AI atas pekerjaan yang vital untuk kebutuhan manusia?

Share This Article
Follow:
Faizal adalah pengajar, penulis, dan peneliti di bidang pendidikan, media sosial, teknologi, dan desain multimedia. Faizal adalah co-founder dari Galeri Ide, perusahaan startup yang berbasis di Indonesia, yang bertujuan untuk membantu masyarakat mengenali dan memanfaatkan teknologi secara produktif dan bertanggungjawab.
Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *